RedaksiBali.com – China Lebih Memilih Malaysia Dibanding Indonesia untuk Investasi Teknologi, Dalam beberapa tahun terakhir, Malaysia telah menjadi tujuan utama investasi teknologi dari perusahaan-perusahaan besar dunia, termasuk dari China dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari komitmen investasi besar-besaran yang dilakukan oleh raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, dan ByteDance. Sementara itu, Indonesia, meskipun menarik investasi, masih belum mampu menarik jumlah investasi yang sama besarnya. Artikel ini akan membahas alasan di balik pilihan investasi ini dan implikasinya bagi ekonomi digital kedua negara.
Investasi Besar-besaran di Malaysia
Pada bulan ini, Google mengumumkan komitmen investasi sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 32,6 triliun di Malaysia untuk membangun pusat data dan cloud. Sebelumnya, Microsoft telah mengumumkan investasi sebesar US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 35,8 triliun untuk ekspansi infrastruktur AI di negara tersebut. Selain itu, ByteDance, induk dari TikTok, berencana menggelontorkan dana sebesar US$ 2,13 miliar atau sekitar Rp 34,7 triliun untuk membangun pusat AI di Malaysia.
Menurut Menteri Perdagangan Malaysia, investasi ini akan mencakup ekspansi fasilitas pusat data di Johor dengan tambahan investasi senilai 1,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 5,2 miliar. Menteri Investasi Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, menyatakan bahwa investasi ini akan membantu Malaysia mencapai target pertumbuhan ekonomi digital sebesar 22,6% dari PDB pada tahun 2025.
Perbandingan dengan Indonesia
Di Indonesia, Microsoft mengumumkan investasi senilai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 27,7 triliun untuk fasilitas dan talenta AI. Meskipun investasi ini signifikan, jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan dengan komitmen yang diberikan oleh perusahaan yang sama di Malaysia.
Hendra Suryakusuma, Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO), menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang membuat Malaysia lebih menarik adalah adanya insentif yang lebih baik untuk pelaku data center, terutama bagi perusahaan yang menggunakan teknologi green. Indonesia, meskipun memiliki potensi besar, masih belum mampu menyediakan insentif yang sama.
Birokrasi dan Regulasi
Malaysia juga unggul dalam hal birokrasi yang lebih sederhana. Di Malaysia, perusahaan asing dapat menggunakan high level design untuk mendapatkan izin membangun, sementara di Indonesia, mereka harus menyelesaikan detil engineering design yang memakan waktu dan biaya lebih besar. Pemangkasan birokrasi ini memudahkan investasi bisnis masuk ke Malaysia.
Fokus pada Energi Terbarukan
Negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat, yang fokus pada ESG (Environmental, Social, and Governance) dan komitmen Paris Accord, cenderung memilih negara yang mendukung energi terbarukan. Jika Indonesia berhasil memberikan insentif tambahan melalui RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan), ini dapat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahun.
China Lebih Memilih Malaysia saat ini oleh investor teknologi global karena insentif yang lebih baik, birokrasi yang lebih sederhana, dan fokus yang lebih besar pada energi terbarukan. Namun, Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik lebih banyak investasi jika dapat memperbaiki insentif dan regulasi yang ada. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadi tujuan investasi yang lebih menarik di masa depan.