RedaksiBali.com – Baru-baru ini, Thailand menjadi sorotan publik karena perselisihan kontroversial antara Perdana Menteri Srettha Thavisin dan Gubernur Bank Sentral, Sethaput Suthiwartnarueput, mengenai kebijakan ekonomi negara tersebut. Perselisihan ini berkaitan dengan isu suku bunga yang dinilai terlalu tinggi dan program bantuan sosial (bansos) yang menjadi sumber ketegangan.
Sebagai Menteri Keuangan dan Perdana Menteri, Srettha Thavisin mendorong Bank Sentral untuk menurunkan biaya pinjaman guna merangsang pertumbuhan ekonomi Thailand. Beliau mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting, terutama mengingat penurunan yang terus menerus dalam tingkat konsumsi rumah tangga yang dapat menimbulkan risiko deflasi.
“Saat ini, jika ada krisis atau masalah, masih ada ruang untuk penanganan. Mengapa kita tidak memulainya sekarang?” ujar Srettha dalam pernyataannya kepada Reuters, pada Selasa (6/2/2024).
Srettha juga meminta Bank Sentral untuk menurunkan suku bunga. Meskipun inflasi masih berada di bawah target yang ditetapkan, menurutnya, penurunan suku bunga menjadi 2,25% dapat membantu menahan laju inflasi. Srettha menegaskan bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus bekerja sama untuk mendongkrak kembali perekonomian negara.
“Saya percaya bahwa kita masih bisa bekerja sama,” ujarnya kepada bank sentral.
Sebelumnya, Srettha telah mengungkapkan bahwa ekonomi Thailand membutuhkan dorongan besar dan akan melanjutkan program bansos senilai US$ 14 miliar yang sempat tertunda. Program ini, yang dikenal dengan skema dompet digital, akan mentransfer 10.000 baht kepada 50 juta warga Thailand.
Meskipun program bansos ini memunculkan kontroversi, Srettha tetap mempertahankan komitmennya terhadap rencana tersebut. Beberapa ahli ekonomi mempertanyakan keberlanjutan program secara fiskal dan keberadaan sumber dana yang mencukupi.
Wakil Menteri Keuangan, Julapun Amornvivat, menyatakan bahwa pemerintah akan membahas program bansos tersebut dalam pertemuan pekan depan. Pemerintah tetap berkomitmen terhadap rencana yang telah mereka tetapkan saat ini. Terkait dengan sumber dana, pihaknya akan memperjuangkan rancangan undang-undang pinjaman.
Meskipun ada tekanan dari berbagai pihak, Bank Sentral Thailand, Bank of Thailand (BOT), diprediksi akan mempertahankan kebijakan suku bunganya. Gubernur BOT, Sethaput Suthiwartnarueput, berpendapat bahwa perekonomian Thailand saat ini tidak berada dalam kondisi krisis yang membutuhkan langkah-langkah drastis.
Selain itu, Sethaput juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas ekonomi dan menghindari risiko inflasi yang berlebihan. Meskipun terjadinya perdebatan dan kontroversi, diharapkan pemerintah dan bank sentral dapat menemukan titik temu untuk mencapai kebijakan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan.
Dalam situasi yang penuh tantangan seperti saat ini, kolaborasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter menjadi kunci untuk menghadapi dan mengatasi dampak krisis. Kedua belah pihak harus bekerja sama untuk merumuskan kebijakan yang tepat guna mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan konsumsi rumah tangga, dan mengatasi risiko deflasi.
Kontroversi ini menunjukkan kompleksitas dalam mengelola kebijakan ekonomi di tengah kondisi yang sulit. Namun, dengan dialog yang terbuka dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan bank sentral, diharapkan Thailand dapat mengatasi tantangan ini dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.