RedaksiBali.com – Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) secara tegas menolak menerima konsesi izin tambang yang diberikan oleh pemerintah kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, HKBP Tolak Izin Tambang Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, memungkinkan ormas keagamaan untuk mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK).
Sikap Tegas HKBP
Ephorus HKBP, Pendeta Robinson Butarbutar, menegaskan bahwa HKBP tidak akan terlibat dalam usaha pertambangan. Dalam keterangan tertulisnya, Robinson mengutip isi Konfesi HKBP tahun 1996 yang menyatakan bahwa gereja memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan dari eksploitasi manusia.
“Kami dengan segala kerendahan hati menyatakan bahwa HKBP tidak akan melibatkan dirinya sebagai gereja untuk bertambang,” kata Robinson. Ia menambahkan bahwa kegiatan pertambangan telah terbukti menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan dan pemanasan global.
Komitmen terhadap Lingkungan
Robinson menekankan bahwa kerusakan lingkungan harus segera diatasi dengan beralih ke energi alternatif seperti energi matahari dan tenaga angin. Ia mengutip ayat-ayat Alkitab yang menegaskan tanggung jawab manusia untuk melestarikan alam ciptaan Tuhan.
“Kita menyaksikan tanggung jawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah supaya manusia itu dapat bekerja sehat dan sejahtera,” ujar Robinson mengutip Mazmur 8:4-10.
Selain HKBP Tolak Izin Tambang terlibat dalam pertambangan, HKBP juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas penambang yang melanggar aturan dan merusak lingkungan.
Sikap Ormas Keagamaan Lainnya
Sikap tegas HKBP bukanlah satu-satunya di antara ormas keagamaan. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui perwakilannya Kardinal Suharyo, menyatakan tidak akan mengajukan izin usaha pertambangan batubara. KWI menilai bahwa pengelolaan tambang bukan merupakan ranah mereka dan lebih fokus pada pelayanan umat.
Gomar Gultom, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), menyatakan bahwa pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas keagamaan oleh pemerintah adalah bentuk komitmen untuk melibatkan rakyat dalam mengelola kekayaan alam. Namun, ia juga mengingatkan bahwa mengelola tambang sangat kompleks dan ormas keagamaan memiliki keterbatasan.
Sikap Muhammadiyah dan NU
Sementara itu, Muhammadiyah menyikapi kebijakan ini dengan lebih hati-hati. Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, menyatakan bahwa Muhammadiyah belum memutuskan sikap terkait pemberian izin tambang. Pihaknya akan membahas lebih lanjut mengenai aspek positif, negatif, serta kemampuan Muhammadiyah dalam menerima tawaran tersebut.
Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengambil sikap berbeda dengan segera mengajukan IUPK dan menjadi ormas keagamaan pertama yang mengajukan izin menjalankan usaha tambang tersebut. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menegaskan bahwa pemberian izin tambang merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tujuan mulia dari kebijakan itu tercapai.
HKBP menolak keras keterlibatan dalam konsesi tambang, mengedepankan tanggung jawab lingkungan dan ajaran agama sebagai landasan utama. Sikap ini diikuti oleh KWI dan sebagian besar PGI, yang juga menolak atau berhati-hati terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Sementara PBNU mengambil peluang ini sebagai tanggung jawab untuk mengelola sumber daya dengan bijak. Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas dan beragamnya pandangan di antara ormas keagamaan terkait kebijakan pertambangan di Indonesia.