RedaksiBali.com – Proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan menjadi sorotan karena terpaksa dihentikan atas perintah dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kehadiran surat perintah tersebut memunculkan tudingan terkait upaya untuk mengakali suara hasil pemilu, yang kemudian mendapat penegasan dan bantahan dari pihak KPU.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat sorotan terkait keputusan penghentian rekapitulasi suara Pemilu 2024 di tingkat kecamatan. Langkah ini menimbulkan kecurigaan akan adanya motif tertentu, terutama karena penghentian tersebut tidak diikuti dengan jaminan keamanan bagi kotak suara yang sudah dibuka.
Dalam konteks ini, Deddy Yevri Sitorus, calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Kalimantan Utara, menyampaikan informasi mengenai perintah penghentian tersebut yang didapatkannya pada tanggal 18 Februari 2024. Keputusan ini dikabarkan telah diterapkan di sejumlah kecamatan di Kalimantan Utara.
Pihaknya menganggap bahwa alasan teknis terkait Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang menjadi dasar penghentian tersebut tidaklah memadai, terutama karena Sirekap bukanlah metode resmi dalam proses penghitungan suara pemilu. Selain itu, penghentian rekapitulasi seharusnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak (force majeure), bukan berdasarkan alasan teknis semata.
Kekhawatiran muncul terutama terkait potensi manipulasi suara hasil pemilu yang dapat terjadi akibat penghentian rekapitulasi tersebut. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya tudingan terkait persaingan antara partai politik, terutama antara PDI-P dengan Partai Golkar, yang diyakini akan menjadi peraih kursi terbanyak dan berpotensi menduduki posisi ketua DPR.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018, ketua DPR akan diambil dari partai politik yang meraih kursi terbanyak. Oleh karena itu, dugaan adanya motif politik dalam penghentian rekapitulasi suara semakin menguat. Selain itu, dugaan upaya untuk meloloskan partai politik tertentu yang tidak memenuhi ambang batas parlemen juga menjadi sorotan. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap integritas proses pemilu yang seharusnya adil dan transparan.
Atas tudingan-tudingan tersebut, Deddy Yevri Sitorus meminta KPU untuk memberikan penjelasan yang memadai. Terlebih lagi, hal ini menjadi penting agar tidak menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat terhadap integritas proses pemilu.
Penghentian proses rekapitulasi suara tidak hanya terjadi di Kalimantan Utara, namun juga terdapat laporan serupa dari daerah lain seperti Kota Tangerang dan Kota Serang. Di Kota Tangerang, Ketua KPU setempat mengeluarkan surat edaran untuk menunda pleno rekapitulasi suara hingga tanggal 20 Februari dengan alasan validasi data dan masalah teknis terkait Sirekap.
Penghentian rekapitulasi suara ini menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan kotak suara yang telah dibuka. Kekhawatiran terhadap potensi kecurangan semakin muncul, terutama karena tidak ada jaminan keamanan bagi kotak suara yang telah terbuka tersebut.
Pada akhirnya, transparansi dan integritas dalam proses pemilu menjadi kunci untuk memastikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Dalam konteks ini, penjelasan yang memadai dan tindakan yang transparan dari pihak terkait, terutama KPU, sangatlah penting.