RedaksiBali.com – Sejak namanya disebut oleh calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat keempat, Tom Lembong menjadi perbincangan hangat di berbagai media massa dan platform media sosial.
Dalam respons atas pernyataan tersebut, budayawan Sujiwo Tejo turut angkat bicara. Sujiwo Tejo menyampaikan pandangannya mengenai nasionalisme Tom Lembong, yang dianggapnya terbentur oleh kendala bahasa Indonesia akibat lama tinggal di luar negeri.
Dalam sebuah acara televisi yang memasukkan unsur kekelakan, Sujiwo Tejo dengan penuh humor mempertanyakan nasionalisme seseorang yang kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. “Mungkin ini pertanyaan lucu, mungkinkah saya akan memilih Amin [Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar] kalau tim sukses tidak lancar dalam bahasa Indonesia? Mana nasionalismenya?” tanyanya dalam sebuah sesi tanya jawab di Metro TV.
Tom Lembong, tidak tinggal diam, memberikan tanggapannya dengan menyatakan bahwa tidak seharusnya nasionalisme diukur dari kemampuan berbahasa saja. Dia menambahkan dimensi baru pada diskusi tersebut dengan menyitir kata-kata dari Presiden Soekarno. “Kalau boleh saya kutip Presiden Soekarno, beliau pernah mengatakan bahwa ‘nasionalisme itu tidak berkembang kecuali bertumbuh dalam taman sari internasionalisme’,” ungkap Tom Lembong.
Menurutnya, makna dari kutipan tersebut adalah bahwa seorang individu tidak dapat hidup sendiri, begitu pula dengan sebuah negara. Keberadaan keluarga, tetangga, dan warga negara adalah komponen esensial yang tidak bisa diabaikan.
Tom Lembong menjelaskan bahwa, seperti individu yang tidak bisa hidup terpisah dari lingkungannya, negara pun tidak bisa hidup sendiri tanpa berdampingan dengan negara lain. “Tidak ada negara yang bisa hidup sendiri, kita tidak hidup sendiri. Ada negara tetangga di Asia Tenggara, mitra dagang, investasi, suka berwisata ke tempat lain. Jadi bagi saya nasionalisme dan internasionalisme adalah komponen esensial penting dari patriotisme,” tegasnya.
Tom Lembong juga berbagi kisah tentang masa kecilnya di Jerman, di mana dia tinggal bersama orang tuanya pada usia 3-10 tahun. Setelah itu, dia kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikan dasar dan menengah di Sekolah Regina Pacis. Setelah menyelesaikan SMP, Tom melanjutkan pendidikan tinggi di Amerika Serikat dan lulus dari Harvard University pada tahun 1994.
Setelah lulus, dia memulai karirnya di firma keuangan Morgan Stanley yang berbasis di Singapura. Namun, krisis moneter pada tahun 1998 membawa dampak besar pada karir Tom Lembong. Dia terpaksa menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meskipun pada awalnya mengalami kesulitan, Tom Lembong mengakui bahwa pengalaman tersebut menjadi titik balik dalam hidupnya. “Kegagalan yang menciptakan kerendahan hati lebih penting daripada keberhasilan yang menciptakan arogansi,” ungkapnya, merujuk pada pelajaran berharga yang diperoleh dari krisis tersebut.
Dengan pengalaman hidupnya yang mengajarkan pentingnya kerendahan hati, Tom Lembong memberikan inspirasi bahwa nasionalisme, internasionalisme, dan patriotisme dapat bersinergi untuk menciptakan pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas hubungan antarnegara dan antarindividu dalam dunia global yang semakin terintegrasi.